![]() |
Dok: detik.com |
Pemerintah
Indonesia mulai menggunakan metode pemeriksaan darah untuk melakukan penapisan
kasus Covid-19 di Indonesia yang kian merebak. Achmad Yurianto, juru bicara
pemerintah untuk kasus Covid-19 menjelaskan bahwa memang tes ini dilaksanakan
berbasis penelusuran kontak pasien dan tidak diarahkan untuk menegakkan
diagnosis dan bertujuan mendeteksi antibodi dalam tubuh dan merupakan sebuah
langkah awal.
Metode
tesnya adalah bila orang yang hasil tesnya negatif namun kemudian mengalami
gejala, maka ia akan disarankan untuk karantina diri sebelumnya melakukan tes
lagi setidaknya tujuh hari sejak tes sebelumnya. Jika tes menunjukkan hasilnya
positif, maka ini adalah dcidentifierance,
tuntutan untuk melakukan pemeriksaan antigen dengan menggunakan metode yaitu real time PCR. Ini yang kemudian dipakai
dasar di dalam kaitan dengan menegakkan diagnosis. Apabila kemudian hasil
positif dari PCR dan kemudian diyakini bahwa tidak bisa untuk melakukan isolasi
diri di rumah, karena ada gejala panas, batuk, sesak, atau ditemukan
faktor-faktor penyakit lain sebagai co-morbid,
misalnya penderita hipertensi, diabet, kelainan jantung, gagal ginjal kronis,
maka kelompok inilah yang harus dilakukan isolasi di rumah sakit.
Di
balik upaya pemerintah dalam membatasi penyebaran Covid-19 ini, para ahli
justru menganggap langkah tersebut tidaklah efektif. Salah satunya, Ahmad
Utomo, pakar biologi molekuler dari Stem
Cell and Cancer Institute yang mengkritik pengandalan metode tes cepat itu.
Utomo menjelaskan bahwa tes itu merupakan metode yang sangat sederhana sehingga
dapat menghasilkan "negatif palsu". Ia menjelaskan bahwa kelemahan
terletak pada masalah waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi antibodi. Utomo
mengatakan bahwa 'rapid test' kalah
cepat dalam mencegah penularan virus.
"Rapid test ini sebetulnya hanya bisa
mendeteksi antibodi. Cuma, antibodi ini munculnya kan terlambat, sementara
virusnya sudah masuk duluan. Jadi kita kalau misalnya mau screening menggunakan
rapid test yang murah ini, itu ya sudah terlambat sebetulnya," kata Utomo.
"Karena
apa? Dia kan terdeteksinya kan mungkin bisa seminggu, 10 hari, bisa dua minggu
setelah terpapar virus kan. Sementara orang ini dalam seminggu pertama udah
kemana-mana sambil bawa virus. Bahayanya di situ," tambahnya.
Provinsi
Jawa Barat mulai melaksanakan tes pada Rabu, 25 Maret kemarin karena saat ini
merupakan wilayah kedua yang paling terdampak. Gubernur Ridwan Kamil mengatakan
pihaknya sudah menerima kurang lebih 20.000 rapid test kit yang sudah
disebarkan ke 27 daerah.
Orang-orang
yang akan menjalani tes dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan tingkat
resiko terpapar. Prioritas pertama adalah kategori A, atau yang paling
beresiko. Mereka termasuk orang yang berstatus ODP (Orang Dalam Pemantauan),
PDP (Pasien Dalam Pengawasan), dan mereka yang berada dalam lingkaran keluarga,
pertemanan, dan tetangga dari pasien, juga para tenaga medis.
Kategori
B adalah mereka yang profesinya menuntut interaksi sosial yang masif, seperti
wartawan, petugas transportasi di bandara dan terminal, para ulama, para
pejabat publik yang memberi layanan publik dan para pedagang pasar. Sementara
kategori C adalah mereka yang merasakan gejala apapun penyakitnya, yang mirip
dengan gejala Covid-19 namun berdasarkan keterangan dari fasilitas kesehatan
dan bukan diagnosis mandiri.
Sumber : detikNews -
BBC Indonesia
Komentar
Posting Komentar